RAYUAN SUMBANGAN

RAYUAN SUMBANGAN

JADUAL KULIAH

KULIAH ZOHOR 02/02/2011 DISAMPAIKAN OLEH:

KULIAH ZOHOR 02/02/2011 DISAMPAIKAN OLEH:
YB Ustaz Khalil Idham Lim

CERAMAH KHAS MAULIDUR RASUL (ASAR) 11/02/2011 DISAMPAIKAN OLEH:

CERAMAH KHAS MAULIDUR RASUL (ASAR) 11/02/2011 DISAMPAIKAN OLEH:
Azmil Mustapha

TUAN GURU YANG MEMBERI TAZKIRAH DI SURAU AL INSAF

PENTING

Saturday, June 6, 2009

The Ideal Muslim Husband

Most Muslim men would like to be ideal husbands. And most Muslim women would, no doubt, like to be married to one. But, for some reason, the men are not ideal husbands, and the women will almost surely admit that they didn't marry one. So, why the discrepancy between our sincere aspirations and reality? Is it an inability on the part of the man, an impossible goal; or is it perhaps that we do not even know what an ideal Muslim husband is?

Wrong Concept of an Ideal Husband

A look at the matrimonial section of an Islamic magazine will quickly demonstrate that many Muslim men and women do not know what an ideal Muslim husband is. Muslim men looking for wives advertise themselves as doctors, engineers, and financially secure. Muslim women appear to be on the lookout for an established professional or more likely a handsome MD. Rarely do Muslim men and women even mention character, religious convictions, and attitudes as a priority. At most, they might be mentioned as a sidebar. It seems that many of us believe that a man is an ideal Muslim husband if he is handsome, makes a lot of money, and comes from an influential family. And the divorce rate among Muslims continues to rise.

Standard of Judging an Ideal Husband

As Muslims, we must base our judgment on what makes an ideal Muslim husband on the guidance of Allah () and the example of Prophet Muhammad (SAWS), not on the standards of a TV sitcom, the culture in which we were born, or our own materialistic mentality.

First Characteristic of an
Un-Ideal Husband: Hot Temper

A major problem in some Muslim marriages unfortunately is the husband's hot temper and harsh behavior. Some even go so far as to abuse their wives. Dr. Quick gives a word of warning to these men who often come from cultures that teach them to be tough and macho. He says that there should be no violence between husband and wife and that Muslim men should not be the kind of tyrannical fathers whose children run away and hide when their father comes home. He says that we have to separate our non-Islamic cultures from Islam. The ideal Muslim husband will base his behavior on Islam, not on his Arab, American, or Pakistani culture.

Second Characteristic of an
Un-Ideal Husband: Egoistic

Another major problem in Muslim marriages is the husband's failure to consider his wife's opinions. In fact, Abdallah Idris Ali says that the failure of the Muslim Ummah as a whole has to do with our failure in practicing the concept of Shura (consultation). People think that they are right and others are wrong, he says. We will do much better if we consider the opinions of others and let them feel that they are a part of the decision-making process. Along the same lines, Dr. Quick points out that if a woman makes a true (haqq) point, the husband should submit to it. He should in no way reject a point just because it comes from a woman. Demonstrating the huge difference between the way the Prophet (SAWS) dealt with his wives and the way Muslim men deal with their wives today, Abdallah Idris Ali tells the story of the time when Prophet Muhammad (SAWS) was sleeping under one cover with his wife Ayesha, and he asked her permission to get up to pray.

Third Characteristic of an
Un-Ideal Husband: Unhelpful

The failure to help in the house and to help with the raising of the children are well-known weaknesses of husbands. The video makes it clear that Prophet Muhammad (SAWS) helped in the house, and Abdul Malik Mujahid says that a man cannot be an ideal Muslim husband, or even close to a good husband, if he leaves the responsibility of children completely to the mother. Khadija Haffagee tells the story of a father who took a three-month-old infant to pray with him and after the prayer did the 'tasbih" on the child's hand. This, she said, was training by the father. Dr. Quick warns that when training our children, we should be careful not to raise sons with a double standard where they have no household responsibilities. If we do, they will likely grow up with the attitude that they don't need to do this kind of work --- that they are above it.

Prophet: An Ideal Father

As a beautiful example of a healthy father-child relationship, Abdul Malik Mujahid tells the story of how the Prophet Muhammad (SAWS) used to stand up for his daughter Fatima, kiss her, and give her his seat when she came to him. This was in an age when people preferred sons and looked down on having daughters. With this simple act, the Prophet (SAWS) showed us how to express love and affection for our children --- an essential quality for an ideal Muslim husband.

An Ideal Ex-Husband

Being an ideal Muslim husband, however, goes even farther than the marriage, Dr. Quick points out. Even after a divorce, a Muslim husband must strive to be the best ex-husband. A husband shouldn't be Mr. Kindness in marriage and then treat his wife badly in divorce, Dr. Quick says. He must divorce her in the best manner with good treatment.

Tauladan Untuk Suami Isteri Yang Selalu Bergaduh

Sepasang suami isteri yang sudah menikah selama 7 tahun dan memiliki 3 orang anak, terlibat dalam sebuah pertengkaran hebat. Begitu hebatnya pertengkaran mereka, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai, mengakhiri kehidupan rumah tangga mereka secepat mungkin.

Mereka menemui seorang peguam, untuk melangsungkan perundingan pembahagian harta sepencarian di antara mereka, perundingan berlangsung lancar dan akhirnya sebahagian besar masalah dapat diselesaikan, baik tanah, rumah, dan semua aset harta mereka dapat dibahagi dan mencapai kepuasan kedua belah pihak. Hanya satu hal tidak ditemukan jalan keluarnya, yaitu mengenai pembahagian anak [jangan lupa anak mereka tiga orang]. Baik si suami maupun si isteri, sama sama ingin mengasuh 2 anak, tidak ada yang mau mengalah, dan anak tidak mungkin dibelah dua seperti pada Zaman Nabi Sulaiman a.s. dulu.

Akhirnya mereka menemui seorang tokoh agama, meminta nasihat bagaimana jalan keluar yang harus ditempuh. Sang Imam akhirnya memberikan jalan keluar yang bijak, yaitu mereka diminta menunda perceraiannya selama satu tahun, mereka harus menambah satu orang anak selama satu tahun, bila Tuhan mengizinkan perceraian mereka, Tuhan akan memberikan tambahan satu anak, total menjadi 4 anak, sehingga mudah untuk dibahagi di antara mereka berdua.

Kerana si suami dan si isteri sangat serius untuk bercerai, mereka
mengambil keputusan berusaha keras untuk menambah anak, dan akhirnya mereka berhasil. Setahun kemudian, ketika Sang Imam berjalan jalan, beliau bertemu dengan pasangan suami isteri ini, sedang bergandingan tangan dengan mesra, sehingga Sang Imam bertanya, :
"Apakah Kalian tidak berhasil menambah anak sehingga kalian batal
bercerai?".
Sang Suami lalu menjawab : "Tuhan maha pengasih, Dia memberikan kami tambahan anak, tapi sekaligus juga memberikan isyarat agar kami saling memaafkan dan saling mengasihi, kami memutuskan untuk tidak bercerai".

"Bagaimana Tuhan memberikan isyaratNya?" , tanya Sang Imam.
"Tuhan memberikan kami tambahan anak, bukan satu anak, tapi dua anak,anak kembar !!".

Beberapa hikmah:


1.
Menunda tindakan negatif sering bermanfaat, apalagi ketika seseorang sedang dikuasai emosi. Ada baiknya jika kita sedang marah kita menunda sesuatu yang ingin kita lakukan. Betapa banyak penghuni penjara yang menyesal: mengapa ketika marah memukuli isteri/anak/ dsb sampai tewas....

2. Mampu mengendalikan marah [emosi] adalah kunci kebaikan, sehingga nabi saw menekankan laa taghdhab [jangan marah] kepada sahabatnya.

3. Kisah diatas menunjukkan kasih sayang Allah, tetapi ada yang lebih baik daripada kisah di atas yaitu pasangan suami isteri yang selalu berhasil meredam pertengkaran mereka. Mungkin keluar rumah meninggalkan isteri/suami yang marah untuk sebentar kemudian kembali membawa buah tangan/peralatan baru kesukaannya akan membuatnya tersenyum, meminta maaf dan berfikir betapa baiknya suaminya/isterinya.

4. Pertengkaran itu lumrah rumah tangga. Dengan pertengkaranlah membuat keharmonian semakin terasa nikmat. Orang bijaksana akan menikmati pertengkaran dan masa-masa setelahnya dengan tetap mengendalikan suasana agar tidak sampai keluar dari sunnah Nabi saw. Karena pertengkaran itu seperti api: sedikitnya bermanfaat tetapi besar dan luasnya membinasakan.

...sampaikanlah ilmu walaupun hanya satu ayat......
...muhasabahlah diri sendiri sebelum muhasabah diri orang lain........ ...

Tuesday, June 2, 2009

PERKHAHWINAN DAN KENDURINYA ADALAH IBADAT

Saya berharap pernikahan dan majlis perkahwinan yang telah berlangsung dan akan dilangsungkan sebahagian besar daripadanya termasuk dalam amal ibadat. Walau bagaimana pun tergantung kepada perlaksanan upacara sampingan atau upacara iringannya seperti khenduri, pakaian, persandingan dan adat yang turut diiringkan bersama, adakah semuanya diambil kira suruhan dan nasihat yang telah disampaikan oleh Rasulullah.S.A.W kepada kita sebagai umat Islam. Sekiranya upacara keseluruhan majlis tersebut dari permulaan sehingga akhirnya tidak terlibat dengan aktiviti maksiat, Insya Allah menjadi ibadat dan jemputan ke majlis khenduri tersebut wajib hadir.
Adakah perancangan dan pelaksanaan perkahwinan dan khendurinya dirancang berdasarkan apa yang telah dipelajari di dalam ilmu Fikah atau berdasarkan maklumat yang diperolehi dari Kursus Pra Perkahwinan yang rancak diadakan pada masakini atau perancangan tersebut diambil dari kitab adat atau amalan yang telah tersemat di dalam hati masyarakat kita tanpa perlu dirujuk daripada mana-mana pihak kerana ramai pakarnya berada di sekeliling kita. sebagai contoh pakar persediaan pakaian dan pelamin, kad kahwin dan hiasan yang lain bagi menambahkan keceriaan atau keegoan tuan rumah dan keluarga atau bagi memenuhi hasrat pihak yang mencari kesempatan mengaut keuntungan dan mencipta kekayaan.
Jika kita melaksanakan ibadat seperti solat, haji, aqiqah, qurban dan seumpamanya kita akan merujuk kepada rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya untuk mengelakkan daripada berlaku tdak sah atau tidak diterima Allah terhadap ibadat yang dilakukan itu.
Upacara akad nikah, rukun nikahnya dipatuhi dan dihormati tetapi rukun khenduri dan upacara sampingan lain bagaimana kedudukannya. Adakah kita ambilkira khenduri tersebut akan diterima sebagai ibadat khenduri atau jamuan biasa yang bersamanya maksiat yang telah menjadi kebiasaan serta telah hilang rasa maksiatnya kerana alah bisa tegal biasa dan ditambah lagi dengan bercampuraduk dengan harapan membumbung tingga agar pengantin bahagia sehingga ke akhir hayat.
Kalau kita menilai balik program sesetengah majlis perkahwinan. Kekadang terdapat berbagai adat yang disajikan untuk kononnya bagi mematuhi tuntutan tertentu, benda-benda seperti bertih, lilin, kemiyan, doa tahlil, jamuan, nyanyian, tarian dan lain-lain. Majlis begini memang terserlah campuraduknya.
Saya pernah hadir di suatu majlis perkahwinan, kami dijemput untuk bertahlil sebaik sahaja selesai tahlil mikrofon yang sama digunakan pula untuk nyanyian yang diiringi bersamanya musik berirama sederhana dan rancak. Program seperti ini saya istilahkan sebagai fikrah Melayu bukannya fikrah Islam kerana fikrah Islam apabila melaksanakan sesuatu aktiviti ianya merujuk kepada kitab Islam. Walaupun terdapat tahlil dan doa tetapi aktitiviti itu hanya bertaraf adat sahaja bagi tuan rumah,
Pada pandangan saya amalan baik para jemputan membaca tahlil dan doa itu tidak terjejas kerana mereka tidak mengetahui bahawa majlis itu akan berlaku begitu rupa. Walimatul Urus: Di Antara Sunnah Dan Yang Ditokok Tambah Mewujudkan sebuah perkahwinan adalah merupakan satu langkah yang sangat murni dan sangat-sangat dituntut oleh agama yang fitrah. Perkahwinan atau ikatan pernikahan adalah sebuah sunnah yang mulia yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul serta generasi awal dan akhir yang mengikuti petunjuk mereka. Perkahwinan adalah sebuah fitrah yang telah sedia ditanamkan ke dalam jiwa-jiwa manusia seluruhnya. Oleh sebab itu, Islam sangat-sangat menggalakkan umatnya untuk berkahwin. Ini tidaklah seperti mana yang berlaku kepada sebahagian agama seperti Kristian yang menggalakkan kerahiban, dan pertapaan para sami dari agama budha dan seumpamanya yang melarang perkahwinan. Malahan sebenarnya sebuah perkahwinan merupakan asas pembentukan sesebuah masyarakat yang harmoni. Dengan perkahwinan, jiwa-jiwa menjadi tenang, hati menjadi tenteram, populasi manusia semakin bertambah disebabkan oleh sebuah ikatan percintaan yang halal lagi sistematik. Sekaligus, ikatan perkahwinan dapat mengawal dari berlakunya pelbagai bentuk gejala yang tidak sihat seperti perzinaan, perbuatan homoseksual dan juga pelacuran sebagaimana yang berlaku di era zaman jahiliyyah sebelum datangnya Islam ke tanah Arab dan kini banyak berlaku di negara-negara barat pula. Dengan izin dari Allah Subhanhu wa Ta’ala, tulisan ini cuba mengupas sebahagian daripada juzuk perkahwinan yang dimaksudkan. Tulisan ini bakal difokuskan kepada skop perlaksanaan majlis perkahwinan atau disebut sebagai walimatul urus. Penulis terlintas untuk menulis berkenaan dengan topik ini adalah disebabkan melihat fenomena yang banyak berlaku pada akhir-akhir ini di mana majlis-majlis perkahwinan rata-ratanya semakin meriah tetapi pelik yang dilengkapi dengan kepelbagaian acara. Malah, ia dijadikan sebagai sebuah kebanggan bagi sesebuah pasangan pengantin baru sekiranya mereka berupaya mengadakan majlis perkahwinan mereka secara besar-besaran dengan disertai pelbagai juadah makanan dan acara tertentu yang menarik perhatian. Ini termasuklah pelbagai bentuk makanan yang dihias dengan pelbagai rupa dan dimeriahkan lagi dengan upacara persandingan, muzik, tari-tarian dan nyanyi-nyanyian, upacara potong kek, adat menyarung cincin, dan seumpamanya. Bentuk upacara seperti ini kelihatannya begitu menyukarkan dan memerlukan perbelanjaan yang sangat besar. Apakah ia merupakan sebuah tuntutan di dalam agama atau sebaliknya, atau bagaimana. Maka di sini timbullah sebuah persoalan, iaitu sejauh manakah sebenarnya majlis perkahiwnan yang benar-benar dianjurkan oleh Syari’at sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih? Adakah majlis perkahwinan itu perlu diadakan dengan pelbagai aturcara seperti upacara sarung cincin, persandingan, iringan muzik, dan sesi mengambil gambar? Selanjutnya, adakah bentuk-bentuk aturcara walimah seperti ini benar-benar menepati kehendak syari’at dan merupakan suatu yang dibenarkan atau sebaliknya? Dengan itu, maka tulisan ini pun disiapkan dan insyaAllah tulisan ini akan cuba menyampaikan dan menggariskan bentuk majlis perkahwinan (walimatul urus) yang bertepatan dengan agama kita yang suci lagi murni. Sekaligus melihat sejauh manakah majlis perkahwinan masyarakat kita ini yang sebenarnya telah banyak ditokok tambah dengan pelbagai bentuk perbuatan yang mungkar lagi bercanggah dengan syari’at. Lebih parah, ia turut menyusahkan kebanyakan pasangan yang ingin membina mahligai rumahtangga mereka masing-masing kerana diikat dengan perkara-perkara seperti itu. Dengan mengetahui yang mana yang realiti lagi sahih daripada sunnah, maka seterusnya tiada masalah untuk kita membezakan di mana sebenarnya yang mungkar, yang ditokok tambah dan seterusnya kita berupaya menjadikan sebuah majlis perkahwinan itu adalah sebuah majlis yang berhak mendapat keberkahan dan redha dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memisahkannya dari apa yang tidak disyari’atkan (serta yang terlarang). Definisi Walimatul urus Menurut Imam ash-Shan’ani: Kata walimah (وَلِيْمَة) diambil dari kata asal (ولم) yang bererti perhimpunan, kerana pasangan suami isteri (pada ketika itu) berkumpul sebagai mana yang dikatakan oleh imam az-Zuhri dan yang lainnya. Bentuk kata kerjanya adalah awlama yang bermakna setiap makanan yang dihidangkan untuk menterjemahkan kegembiraan. Dan walimatul urus adalah walimah untuk pernikahan yang menghalalkan hubungan suami isteri dan perpindahan status kepemilikan. (Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subulus Salam, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 724, Darus Sunnah) Menurut Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim: Al-Walimah ertinya adalah makanan yang biasa disajikan (dihidangkan) pada pesta (majlis) pernikahan secara khusus. (Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 310, Pustaka Ibnu Katsir) Dari dua penjelasan ini dapat kita fahami bahawa yang dimaksudkan dengan walimatul urus itu adalah jamuan makan yang diadakan disebabkan berlangsungnya ikatan perkahwinan (pernikahan). Ini adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata: “Ketika tiba waktu pagi hari setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadi seorang pengantin dengan Zainab bin Jahsy, beliau mengundang orang-orang, lalu mereka dijamu dengan makanan dan setelah itu mereka pun bersurai.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 1428) Juga perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf apabila Nabi mengetahui ‘Abdurrahman baru sahaja bernikah: “Laksanakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5169) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menikahi seorang perempuan, beliau mengutuskan aku untuk mengundang beberapa orang untuk makan.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, no. 3219) Hukum Mengadakan Walimatul Urus Imam ash-Shan’ani rahimahullah menjelaskan: “Imam Ahmad berkata, “Walimah itu hukumnya sunnah”. Menurut jumhur, walimah itu disunnahkan (mandub). Ibnu Baththal berpendapat, “Aku tidak tahu apabila ada ulama yang mewajibkan, mungkin dia tidak tahu perbezaan ulama tentang hukum tersebut”. Jumhur mengatakan hukumnya sunnah berdasarkan pendapat asy-Syafi’i rahimahullah.” (Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subulus Salam, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 726, Darus Sunnah) Manakala sebahagian pendapat mengatakannya sebagai wajib seperti pendapat mazhab Zahiri sebagaimana yang dijelaskan di dalam Subulus Salam, asy-Syafi’i di dalam al-Umm, dan juga pendapat Syaikh al-Albani di dalam Adabuz Zifaf. Ada pun pendapat yang terpilih adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah: “Tiada perbezaan pendapat di antara ahli ilmu, bahawasanya hukum walimah di dalam majlis perkahwinan adalah sunnah dan disyari’atkan (sangat dituntut), bukan wajib.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, jil 7, m/s. 2) Siapa Yang Mengadakan Walimah Walimah dilaksanakan dan diselenggarakan oleh Suami. Ini adalah sebagaimana perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri dan turut dicontohi oleh para sahabat-sahabatnya yang lain. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menikahi seorang perempuan, beliau mengutuskan aku untuk mengundang beberapa orang untuk makan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, at-Tirmidzi, no. 3219) Juga dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau menjelaskan: “‘Abdurrahaman berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku baru sahaja bernikah dengan seorang wanita dengan mahar satu nawat emas (emas sebesar biji kurma)”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Semoga Allah memberkahimu, adakanlah walimah walau pun hanya dengan menyembelih seekor kambing”.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5169) Berdasarkan hadis ini, Rasulullah telah memerintahkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf supaya mengadakan walimah. Walau pun begitu, walimah tidaklah semestinya dilakukan dengan seekor kambing tetapi ia dilakukan bersesuaian dengan kemampuan suami. Ini adalah kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri pernah melaksanakan walimah untuk Shafiyah dengan menyediakan campuran kurma tanpa biji yang dicampur dengan keju dan tepung di atas sumbangan para sahabat yang hadir. (Rujuk Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 2048) Waktu Walimah Imam al-Mawardi dari mazhab asy-Syafi’i menjelaskan bahawa waktunya adalah setelah selesai akad pernikahan dan setelah kedua pasangan bersama. Ibnu as-Subki berkata: “Yang diriwayatkan dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahawa walimah itu diselenggarakan setelah berhubungan (pasangan bersama), berdasarkan hadis pernikahan di antara Nabi dengan Zainab binti Jahsy iaitu berpandukan perkataan Anas “di pagi harinya” (rujuk hadis di atas), iaitu ketika Nabi menjadi pengantin dengan Zainab, beliau mengundang kaum muslimin, perbuatan Nabi ini dijadikan bab oleh al-Baihaqi sebagai “Bab Waktu Walimah”. (Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subulus Salam, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 727, Darus Sunnah) Menurut Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, walimah tidak diadakan ketika perjalanan akad nikah berlangsung atau sebaik akad nikah, tetapi adalah setelah pasangan bersama (bersetubuh). (Rujuk: Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 311, Pustaka Ibnu Katsir) Begitu juga sebagaimana yang dijelaskan oleh Amru Abdul Mun’im Salim: “Seseorang hendaklah menyelenggarakan walimah setelah ia berkumpul dengan isterinya.” (Amru Abdul Mun’im Salim, Panduan Lengkap Nikah Menuju Keluarga Sakinah, m/s. 177, Dar an-Naba’) Hukum Menghadiri Undangan Walimah Hukum menghadiri undangan walimah adalah wajib. Ini adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu diundang ke majlis walimah, hendaklah dia menghadirinya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5173) Pendapat yang menjelaskan wajibnya menghadiri undangan walimah juga turut dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil Barr, imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Imam an-Nawawi, dan pendapat inilah yang telah menjadi kesepakatan para ulama. Daripada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Dan barangsiapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah melakukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5177) Walau pun begitu, undangan ke majlis walimah boleh ditinggalkan sekiranya memiliki uzur. Ini adalah sebagaimana penjelasan berikut: 1 – Apabila di dalam walimah tersebut mengandungi perkara-perkara maksiat seperti jamuan khamar (arak), gambar-gambar makhluk bernyawa, dan permainan alat-alat muzik dan nyanyian. Sekiranya ini berlaku, maka seseorang tidak perlu menghadirinya melainkan dengan tujuan untuk mencegah kemungkaran tersebut. Sekiranya dia berjaya mencegahnya, maka itu adalah satu kebajikan, dan sekiranya tidak berjaya, hendaklah dia segera beredar. Ini adalah sebagaimana hadis ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku membuat makanan, lalu aku mengundang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian beliau tiba, lalu beliau pun segera pulang. Aku pun segera bertanya, “Wahai Rasulullah, Ibu dan Bapaku sebagai tebusan, apakah yang membuatkan engkau pulang?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya di dalam rumah ada kain penutup yang bergambar, dan sesungguhnya para malaikat tidak akan memasuki ke dalam sesebuah rumah yang di dalamnya mengandungi gambar-gambar.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah, no. 3359. Dinyatakan sahih oleh al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Adabuz Zifaf) Juga hadis dari ‘Umar al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah duduk di meja makan yang di sana dihidangkan minuman keras (khamar).” (Hadis Riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi. Rujuk: al-Albani, Adabuz Zifaf, m/s. 152, Media Hidayah) 2 – Apabila terdapat pengkhususan undangan di mana orang yang mengundang membeza-bezakan di antara yang kaya dengan yang miskin atau fakir, makanan yang dihidangkan mengandungi syubhat, dan seumpamanya. Ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam ash-Shan’ani di mana diizinkan untuk tidak memenuhi undangan walimah “apabila adanya uzur di antaranya, apabila makanan yang dihidangkan mengandungi syubhat (tidak jelas kehalalannya), atau diperuntukkan kepada orang-orang kaya sahaja, atau ada orang yang tidak senang dengannya...” (Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subulus Salam, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 729, Darus Sunnah) Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, yang mana di dalam walimah tersebut tidak mengundang orang yang memerlukan (fakir), dan hanya mengundang orang yang tidak memerlukan (orang kaya)...” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5177) Di antara uzur lain yang dibenarkan untuk tidak hadir ke undangan walimah adalah seperti uzur yang dengannya seseorang boleh meninggalkan solat Juma’at, seperti terjadinya hujan yang sangat lebat, jalan yang bermasalah, kerana takutkan musuh, takut hilangnya harta, dan yang lain yang seumpama. (Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 314, Pustaka Ibnu Katsir) Digalakkan Mengundang Orang Bertaqwa (Soleh) Ini adalah sebagaimana hadis berikut: “Janganlah kamu bersahabat kecuali dengan orang yang beriman, dan janganlah makanan kamu dimakan melainkan oleh orang-orang yang bertaqwa.” (Hadis Riwayat Abu Daud, no. 4811. Hadis ini hasan menurut penilaian al-Albani) Daripada Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdoa kepada Sa’ad bin ‘Ubaidah yang menghidangkan kismis untuknya: “Semoga orang-orang yang baik memakan makananmu, para malaikat mendoakanmu, dan orang-orang yang puasa berbuka di tempatmu.” (Hadis Riwayat Ahmad. Lihat: al-Albani, Adabuz Zifaf, m/s. 157, Media Hidayah) Dan jangan sekali-kali hanya mengundang orang-orang yang kaya lalu melupakan orang-orang yang memerlukan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, yang mana di dalam walimah tersebut tidak mengundang orang yang memerlukan (fakir), dan hanya mengundang orang yang tidak memerlukan (orang kaya)...” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5177) Bolehkah Orang Yang Berpusa Menghadiri Walimah? Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu diundang, hendaklah dia memenuhi undangan tersebut, jika dia sedang berpuasa hendaklah dia mendoakan, dan jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 1431) Menurut Imam ash-Shan’ani, hadis ini menunjukkan wajibnya memenuhi undangan walaupun dia sedang berpuasa. (Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subulus Salam, jil. 2, Bab Nikah, m/s. 732, Darus Sunnah) Dan sebenarnya tidak ada perbezaan akan kewajiban untuk memenuhi undangan walimah sama ada dia sedang berpuasa atau pun tidak. Akan tetapi dibolehkan bagi mereka yang berpuasa untuk menghadirinya sahaja tanpa menyantap hidangan dan dianjurkan mendoakan orang yang mengundangnya. Namun, jika dia mahu, dia boleh untuk memakannya, atau tidak memakannya. Dan jika dia membatalkan puasanya, puasa sunat yang ditinggalkannya tidak wajib diganti. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kamu diundang makan, maka hendaklah dia menghadirinya. Jika mahu, dia dibolehkan makan, jika tidak mahu dia boleh untuk meninggalkannya.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 1430) Anjuran Supaya Mendoakan Pasangan Pengantin Di antara keindahan di dalam Sunnah adalah mendoakan kebaikan, keberkahan, dan memohonkan keampunan buat pasangan pengantin serta mendoakan untuk orang yang mengundang ke majlis makan (walimah). Di antara doa-doa yang disunnahkan kepada kita untuk berdoa dengannya adalah sebagaimana berikut: Doa untuk pasangan pengantin: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika memberikan ucapan doa kepada seseorang yang berkahwin, beliau akan berkata:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, memberikan keberkahan atasmu, dan menyatukan kamu berdua di dalam kebaikan.” (Hadis Riwayat Abu Daud, no. 2130. Hadis ini dinilai sahih oleh at-Tirmidzi dan ath-Thusi sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Albani di dalam Adabuz Zifaz) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf:
بَارَكَ اللهُ لَكَ
“Semoga Allah memberkahimu...” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 5169) Doa ketika Rasulullah menikahkan ‘Ali dengan Fatimah:
اَلَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِمَا، وَبَارَكَ لَهُمَا فِيْهِمَا فِيْ بِنَائِهِمَا
“Ya Allah, berkahilah mereka berdua dan berkahilah perkahwinan mereka berdua.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir. Rujuk: al-Albani, Adabuz Zifaf, m/s. 160, Media Hidayah) Doa untuk orang yang mengundang makan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendoakan untuk Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya (ayahnya) di ketika dia selesai dijamu makanan:
اَلَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِر لَهُمْ، وَارْحَمْهُمْ
“Ya Allah, berkahilah mereka pada rezeki yang telah Engkau berikan kepada mereka dan ampunilah mereka serta rahmatilah mereka.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 1615) Dan dianjurkan bagi mereka yang diundang untuk mengucapkan terima kasih di atas undangan yang diberikan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (Hadis Riwayat Abu Daud, no. 4811) Mengucapkan Ucapan Yang Tidak Disyari’atkan Adalah tidak dibenarkan meninggalkan ucapan-ucapan (doa) yang telah sedia dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seperti yang disebutkan di atas, lalu diganti dengan ucapan-ucapan yang tidak sewajarnya. Sebagai contoh, pada masa ini begitu ramai yang mempopularkan bentuk-bentuk ucapan seperti: “Selamat pengantin baru.” “Semoga bahagia dan mendapat ramai anak.” Ada pun sebenarnya, ucapan-ucapan seperti ini telah pun disentuh oleh para ulama sejak awal lagi. Di antaranya al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan: “Perkataan ini biasa diucapkan oleh orang-orang jahiliyyah sehingga ucapan ini dilarang.” (Fathul Bari, jil. 9, m/s. 222. Rujuk: Abu Hafsh Usamah, Panduan Lengkap Nikah, m/s. 232, Pustaka Ibnu Katsir) Ini adalah kerana, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri telah melarang perbuatan seperti itu sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Uqail bin Abu Thalib. Ini berlaku di ketika ‘Uqail berkahwin dengan seorang wanita dari suku Jasyam. Lalu orang-orang yang mengunjunginya mengucapkan: “Semoga bahagia dan mendapat ramai anak.” ‘Uqail pun berkata, “Janganlah kamu mengucapkan seperti itu (kerana Rasulullah telah melarangnya).” Mereka pun bertanya, “jadi, apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid?” ‘Uqail berkata, “Ucapkanlah: Semoga Allah memberkahimu di dalam kesenangan atau pun kesusahan”. Begitulah kita diperintahkan. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdurrazzaq, Ahmad. Rujuk: al-Albani, Adabuz Zifaf, m/s. 162, Media Hidayah) Disunnahkan Memberi Hadiah dan Membantu Melaksanakan Walimah Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Setelah Nabi Shallalalhu ‘alaihi wa Sallam menikahi Shafiyah, pada pagi harinya Nabi pun berkata: “Sesiapa yang memiliki sesuatu untuk disumbangkan, hendaklah disumbangkan”. Beliau pun menghamparkan lembaran kulit yang disamak (sebagai bekas). Ada orang yang menyumbang keju, ada yang menyumbang kurma, dan ada yang memberikan minyak samin. Mereka pun membuat hais (campuran kurma tanpa biji, keju, tepung dan minyak).” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 2048) Berdasarkan hadis ini, Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan: “Orang-orang kaya dan yang memiliki kelebihan (bekalan) dianjurkan untuk memberikan sumbangan di dalam majlis walimah saudaranya.” (al-Albani, Adabuz Zifaf, m/s. 139, Media Hidayah) Demikianlah sesebuah majlis walimah (walimatul urus) yang ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan diamalkan oleh para sahabat dan generasi awal umat Islam lainnya. Ianya begitu mudah dan ringkas.

Arkib Surau Al Insaf